Thursday, April 10, 2008

Independensi LSM dalam Dinamika Masyarakat Pedesaan

Oleh : Husain Assa’di

Ikhtisar
Perkembangan LSM dari sisi jumlah pada dua dekade terakhir begitu mengesankan. Secara ideal, LSM bekerja pada ranah civil society dan berperan untuk melakukan aksi pemberdayaan secara bottom up berhadapan dengan ranah pemerintah dan pasar secara independen dan bukan merupakan bagian dari pemerintah dan pasar. Pada saat yang sama, banyak diantara LSM berada dalam ketergantungan dana dengan pemerintah dan pasar. Pada situasi inilah LSM dihadapkan pada pilihan antara idealisme keberpihakan dengan civil society, sementara ketergantungan dana dengan negara dan pasar disinyalir juga menghasilkan sinergitas kepentingan. LSM pada satu sisi melakukan pemberdayaan atas civil society pada saat bersamaan tergantung dengan negara dan pasar.

LSM dan Komunitas Lokal
Modernisasi dengan konsep pertumbuhan ekonomi sebagai strategi pembangunan, telah dijalankan oleh Bangsa Indonesia dalam membangun. Pembangunan pedesaanpun tidak lepas dari strategi ini. Shepherd (1998) menyebutnya sebagai paradigma lama pembangunan pedesaan (old paradigm of rural development). Dharmawan (2002) memberikan ilustrasi pendekatan pembangunan ini sebagai pendekatan yang sarat dengan pesan-pesan ekonomi, pertumbuhan, perubahan nilai budaya lokal, westernisasi, dan investasi modal.
Shepherd (1998) mengemukakan altematif pendekatan pembangunan dengan paradigma baru yang berbeda dengan paradigma lama. Paradigma ini memberi peluang yang lebar untuk mengentaskan masyarakat pedesaan dari keterpurukan. Paradigma bam pembanguan pedesaan mempunyai karakteristik menghargai setting lokal atau potensi sosial-ekonomi dan sosial-budaya lokal. Dengan demikian paradigma ini mengedepankan pengembangan dan penguatan potensi lokal, sehingga masing-masing tempat akan berbeda sesuai potensinya.
Dengan berkembang dan menguatnya potensi lokal dalam hal ini pada ranah sipil, maka konstelasi kekuasaan dalam pembangunan akan lebih seimbang berhadapan dengan ruang negara. Pembangunan pedesaan berkelanjutan juga memberikan kekuatan ekonomi lokal dalam berhadapan dengan kekuatan kapitalisme global (Dharmawan, 2002).
Pada titik inilah diperlukan organisasi gerakan sosial untuk menginisiasi dan menggerakkan masyarakat pedesaan berjuang melawan keterpurukan. Tepatlah bila LSM sebagai wujud konkret organisasi gerakan sosial terjun langsung dalam proses ini. Pengembangan Komunitas sebagai sebuah strategi pembangunan pedesaan paradigma baru, memerlukan kejelian dalam mengidentifikasi potensi ragam komunitas yang ada. Kemudian, bersama-sama komunitas mengembangkan potensi tersebut.

Paradoks LSM dalam diskursus Pembangunan Pedesaan
Pada era reformasi pasca runtuhnya Orde Baru, LSM muncul bak jamur dimusim penghujan. Kesadaran untuk melakukan aksi pembangunan yang bottom up, direspon positif oleh beberapa kalangan di Indonesia. Kerangaman LSM juga sangat tinggi (Fakih, 2000), keragaman LSM tidak hanya merupakan betuk keragaman nama yang sama idealismenya untuk ‘memberdayakan’ masyarakat. Lebih dari itu, sebagian LSM sebenarnya merupakan kepanjangan tangan pemerintah untuk mensukseskan programnya, dan sebagian lagi merupakan kepanjangan tangan dari para kapitalis yang ingin mensukseskan kepentingan mereka (Ufford, 2002). Sehingga menurut penulis LSM berada posisi yang makin rumit ditengah idealisme sebagai LSM dan sebagai agen dari berbagai macam kepentingan.

Di tengah globalisasi yang bergulir tak terhentikan LSM tidak sekedar menjadi aktor lokal yang bergerak dalam lingkup geografis yang terbatas. Pembatas geografi sudah tidak menjadi penting, terbuka luasnya hubungan antar negara juga membuka terbentuknya jaring-jaring baru yang makin rumit. Friedman (1992) juga melihat adanya posisi politik yang penting dimainkan oleh LSM ditengah beragam kepentingan. Misalnya saja LSM yang menjadi kepanjangan tangan perusahaan multinasional yang beraktifitas untuk melakukan aksi pengembangan komunitas di tengah hutan Kalimantan, mereka sudah ada pada posisi hubungan dengan perusahaan di negara lain. Ada LSM yang menjadi kepanjangan tangan LSM luar negeri. Dan ada LSM yang menjadi kepanjangan tangan pemerintah negara lain. Terlepas dari definisi LSM sebagai Organisasi Non Pemerintah (ORNOP), LSM semakin kompleks dengan jejaring yang ada. Pemerintah mempunyai LSM, Perusahaan memiliki LSM dan masyarakat sipil juga mempunyai LSM yang kesemuanya tidak hanya berkutat pada wilayah dalam negeri tetapi juga lintas batas luar negeri. Peristiwa tsunami di Aceh dapat menjadi pelajaran yang berharga untuk memahami masalah ini.
Strategi pemberdayaan masyarakat lewat agen LSM tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ‘atasan’ LSM tersebut. LSM tidak bisa dilepaskan dari dominasi struktur yang ada. Ufford (2002) melihat gejala ini sebagai “kritik moral pembangunan” dimana pembangunan tidak bisa dilepaskan oleh hegemoni negara yang pada hakikatnya merupakan hegemoni pasar (kapitalis). Misalnya dalam pengembangan komunitas pada industri tambang, LSM tetap dalam koridor untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya bagi perusahaan. Aktifitas pengembangan masyarakat dipandang sebagai program untuk meredam konflik masyarakat setempat dengan perusahaan. Sehingga apa-apa yang dilakukan lebih dari sekedar untuk menjadikan masyakat ‘diam’, tentu dengan memenuhi kebutuhan masyarakat dalam jangka pendek. Menurut aktifis yang melaksanakan langsung program ini, posisi LSM tidak lebih dari pion perusahaan yang digerakkan untuk menjaga stabilitas.
Melihat dan memahami realitas ini, apakah LSM masih menjadi tumpuhan harapan untuk terciptanya masyarakat sipil yang kuat? Tentu jawabnya adalah tidak selalu, pada awalnya idealisme pembentukan LSM untuk memberikan solusi untuk menguatkan posisi masyarakat sipil adalah ideal. Pada titik inilah perlu adanya penguatan potensi LSM sebelum terjun untuk memperkuat masyarakat. Dalam arti lain, perlu independensi LSM untuk berhadapan dengan pemerintah dan pasar. LSM seperti ini akan memperkuat posisinya sekaligus menginisiasi penguatan potensi masyarakat lokal. Karena masyarakat sipil juga terdapat potensi-potensi besar yang dapat digunakan untuk melakukan hal ini.
Tulisan ini menganggap bahwa LSM tidak perlu dipandang terlalu pesimis sebagai agen untuk memberdayakan masyarakat, walaupun banyak LSM yang mengambil peran tidak ideal. LSM perlu membuat jaringan yang kuat secara global dengan ideologi pembebasan yang independen dengan kepentingan pemerintah dan pasar. Kerjasama dengan pemerintah dan pasar hanya dilakukan kalau sesuai dengan idealisme ini, diluar itu LSM harus independen. LSM juga perlu mewaspadai jebakan yang dibuat oleh pemerintah dan pasar demi kepentingan mereka.

DAFTAR PUSTAKA
Billah, M.M. dan Nusantara, Abdul Hakim G. 1988. Lembaga Swadaya Masyarakat di Indonesia Perkembangan dan Prospeknya. Prisma No 4, Tabun XVII. LP3ES. Jakarta
Budiman, A. 1988. Menampung Aspirasi Masyarakat Lapisan Bawah. Prisma No 4, Tabun XVII. LP3ES. Jakarta .
Christenson, J. A. and Jerry W. R. (00). 1989. Community Development in Perspective. Iowa State University Press.
Daldjoeni, N dan Suyitno, A. 1986. Pedesaan, Lingkungan dan Pembangunan. Penerbit Alumni. Bandung
Dharmawan, A. H. 2002. Modul Pengembangan Komunitas Pedesaan Berkelanjutan. Program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat. Sosek. Institut Pertanian Bogor
Dharmawan, A.H. 2001. Farm Household Livelihood Strategies and Socio¬Economics Changes in Rural Indonesia. Wissenchaftsverlag Vauk kie!
Dos Santos (1970) The structure of dependence American Economic Review
Eldridge, P .1989. LSM dan Negara. Prisma No.7. LP3ES. Jakarta
Eyerman, R dan Jamison, A. 1991. Social Movement. Smelser (eds) pp. 37-54
Fakih, M. 2000. Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial: pergolakan ideologi LSM Indonesia. Pustaka Pelajar. Y ogyakarta
Farrington, J et al. 1999. Sustainable Livelihoods in Practice: Early Aplications of Concept in Rural areas. ODI Natural Resources Perspectives. Number 42 June 1999. Overseas Development Institut.London
Federke, J et al . 1999. Economic Growth and Social Capital: A critical Reflection. Kluwer Academic Publishers Netherlands.
Fernando Henrique Cardoso (1982) “Dependency and Development in Latin America”
Frank, Andre Gunder (1969) The Development of Under Development in Latin America: Underdevelopment or Revolution. New York: Mounthly Review Express.
Frank, A.G. 1973. The Development of Underdevelopment in C.K Wilber The Political Economy of development. Random house. New York
Friedman, John. 1992. Empowerment. The Politics of Alternative Development. Blackwell. Cambridge. Massachusssetts. USA
Glen, A. 1993. Methods and Themes in Community Practice. In Butcher, H e al .(eds) Community And Public Policy. London
Humper, C. L. 1989. Exploring Social Change (Capter Seven: Social Movement, p.125-144)
Ife, J. 1995. Community Development, Creating community alternatives-vision, analysis and practice. Longman House. Melbourne.
Ismawan, B. 2002. Pemberdayaan Orang Miskin. Puspa Swara. Jakarta
Jenkins, J. C. 1983. Resource Mobilization Theory and The Study of Social Movements. Annual Review of Sociology. Vol. 9
Johnson, D. PI. 1981. Sociological Theory Classical Founders and Contemporary Perspectives. John Wiley & Son. New York
Kornblum, W.1988. Sociology in Changing World. New York. Holt, Rienenlt and Winston
Korten,D.C.1988. LSM Generasi Keempat: Fasilitator Gerakan Kemasyarakatan. Prisma No 4, Tabun XVII. LP3ES. Jakarta
_____, 1993. Menuju Abad ke-21 Tindakan Sukarela dan Agenda Global. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta
Light, K & Calhoun. 1989. Sociology. New York: Alfred A. Knopf
Martell, L. 1994. Social Movement and Social Change. C. Universuty. New York
Rostow, W.W. 1964. The stages of economic Growth: A Non CommunistManifesto. Cambridge University Press. New York:
Sayogyo. Modernization without development.
Shepherd, A.1998. Sustainable Rural Development. Macmillan. Basingstoke and London
Siregar, A. E. 1988. Pertumbuhan dan Pola Komunikasi LSM/LPSM. Prisma No 4, Tabun XVII. LP3ES. Jakarta
Sugiyanto. 2002. Lembaga Sosial. Global Pustaka Utama. Y ogyakartaSunarto, K. 2000. Pengantar Sosiologi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Idonesia.
Susanto, H dan Isbat. 2000. Metodologi Penilaian Pemberdayaan. Pembangunan Berbasis Pemberdayaan (Kasus Kalimantan Barat). PT. Sarbi Moerhani Lestari. Bogor
Sutrisno. 2000. Pendekatan Partisipasi dalam Pembangunan. Pembangunan Berbasis Pemberdayaan (Kasus Kalimantan Barat). PT. Sarbi Moerhani Lestari. Bogor Kecamatan). Makalah Seminar.
Ufford, PQ. Dan Giri, AK. 2002. Kritik Moral Pembangunan. Kanisius. Jakarta
Uphoff. N. 1986. Local Institutional Development: An Annual Sourcebook, with Cases. Kumarian Press. West Hartford

1 comment:

Unknown said...

Ikut melansirkan artikel terkait buku "Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial" di link: http://blog.insist.or.id/insistpress/arsip/1048